Dengan paksaan “tendangan kaki” tepatnya, kupaksa motor itu untuk bersuara. Terlihat tua dengan using warna body nya. Cicauan burung tak ku hiraukan, sorotan matahari pagi dengan senyum mengembang, kubiarkan saja. Kuharapkan sepeda motor ini bersuara. Genjotan kaki dengan keras, membuatnya mengeluarkan suara khas dengan sedikit asap muntah dari knalpot yang sedikit berkarat itu. Begitu suara mesin berderu, dua orang yang telah menanti aksiku, langsung duduk di jok motor dengan tenangnya.
Menelusuri desa masa kecilku, penuh cerita, masih dengan hamparan sawahnya yang luas. Pandangan hijau terbentang luas, sejauh mata memandang. Matahari baru beranjak dari peraduannya, sehingga menambah suasana menjadi sejuk. Itu semua kubiarkan, ku ingin menuju tempat itu.
Nah, sebuah bangunan letter L tampak didepanku, membuatku menjalankan sepeda motor ke halaman rumputnya yang hijau. Pohon Akasia besar, menjadi pilihan bersandar. Ya, itulah tempat yang ingin ku tuju. Sebuah bangunan penuh kenangan. Madrasah Ibtidaiyah, awal aku sekolah. Pohon akasia itu masih berdiri kokoh di tempatnya, sama seperti saat aku sekolah di MI itu dulu. Tepat di pojok depan sekolah. Dengan memandang bangunan dari bawah pohon akasia, seakan aku melihat masa kecilku dalam sekolah itu.
Kuingat saat aku berkumpul dengan teman-teman di bawah pohon. Duduk di akarnya yang menyembul di atas tanah, besar kokoh, dan nyaman dibuat berkumpul. Bualan masa kecil itu muncul di memori. Cerita teman- teman tentang keinginan memiliki motor seperti Valentino Rossi. Ah, walau aku tak tau siapa dia, kupastikan dia seorang pembalap. Hingga membuat memoriku memunculkan sosok Mudakir. Mudakir, kuingat tentang kisahnya. Ia membantuku menuliskan materi pelajaran yang ditulis oleh guru di papan tulis. Ya, waktu aku kelas 1 MI, aku masih belum mampu menulis.
Mudakir, sosok teman dengan bantuan tangannya, hingga aku terhindar dari nilai buruk. Kuperoleh nilai 100, sebuah kebanggaan bagi aku saat itu. Namun, ingatan tentang Mudakir, bukan pada saat ia menuliskan untukku. Aku ingat saat ibu menceritakan masa kecilku. Kelas 1 MI (Madrasah Ibtidaiyah), yang mendapat nilai 100 dari hasil teman. Ibu mengatakan dalam ceritanya, bahwa setiap aku pulang sekolah akan ditanya ibu tentang nilai sekolahku hari itu. Kujawab dengan polosnya, “ aku dapat nilai 100, bu”. Tak cukup disitu ibu menanyaiku, “ siapa yang menuliskan, nak?”. “Mudakir, “ jawabku tanpa membawa beban, santai. Sedikit rasa sedih mengganjal di hati ibu, saat mengetahui aku dituliskan oleh sahabatku, Mudakir. Mungkin, bagiku tak masalah siapa yang menuliskan untukku, yang penting nilaiku memuaskan, pikirku saat itu.
Ibuku dengan begitu telaten mengajarkanku menulis, hingga aku harus dibangunkan pagi sekali saat adzan subuh berkumandang. Diharuskan langsung mandi dan menjalankan ibadah sholat. Dilanjutkan belajar menulis. Waktu subuh dianggap waktu yang tepat, karena masih fres, belum terbebai pikiran apa-apa.
Sewaktu pulang sekolah, jawabanku tak berubah. Nialiku tetap memuaskan bagiku, 100, dengan tulisan dan penulis yang sama, Mudakir. Entahlah, ia bernama Mudzakir atau Mudakir, biarlah dengan kusapa Mudakir. Dengan rasa yang masih sama dalam hati ibuku, sedikit rasa kecewa, aku tanpa perkembangan. Masih hasil kerja Mudakir di buku tulisku. Kerja keras itu masih dilakoni ibu, agar anaknya mampu menulis dari tangan sendiri, bukan meminjam jerih payah Mudakir lagi. Ibu tak ingin aku mendapat nilai sangat memuaskan, tapi hasil kerja keras teman. Nilai kerjaku, itu keinginan beliau.
Sangat kusesalkan sekali, cerita itu tak kuingat sendiri. Ibu yang mengingatnya, hingga menceritakannya padaku, saat aku telah sampai masa SMA. Entah mengapa aku tak mengingatnya. Apakah begitu berharganya, sampa-sampai memori ingatanku harus melupakannya. Kupaksakan untuk mengingatnya. Aku tak mampu.
Aku masih duduk di akar pohon akasia. Kedua keponakanku, yang usianya tidak jauh di bawahku, asyik berkelakar. Aku tak menghiaraukan. Peperangan memori otak, menjadi semakin panas. Ingin kuhantampkan kepala ini pada batang akasia yang berdiri dengan tegap, besar dan kokoh, agar aku mengingat kembali siapa itu Mudakir dan seperti apa dia.
Harus kulimpahkan pada siapa kesalahan ini. Pada otakku kah?. Pada Ibu? Karena menceritakan Mudakir yang tidak kuingat.
Ingin kumaki-maki otakku yang tak dapat memunculkan memori cerita tentang Mudakir. Rasanya, sebaiknya kuledakkan saja kepalaku dengan bom atom, agar otak yang tak berguna ini berceceran. Tiba-tiba kuraba saku celanaku, ada sebuah kotak di saku celanaku. Oh, ternyata sebungkus rokok. Oh iya, tadi secara tak sengaja kubawa rokok mild kakakku. Saat kubuka, ada korek pula di dalamnya. Aku bukanlah perokok, tapi dengan kondisi otakku yang berperang, kuambil sebatang dan kunyalakan. Dengan hisapan yang dalam, semoga saja dapat menggali memori yang hilang. Sayang, beberapa hisapan tak member efek apa-apa. Kugigit gabus rokok itu. Kucabika-cabik, hatiku berteriak “bangsat, sialan, anjing” ah, segala umpatan kuucapkan dalam hati dengan perasaan marah, untung tak semua nama binatang kusebut semuanya. Putung rokok itu melayang jauh, saat kulempar dengan penuh amarah.
Tak sukses memarahi otakku, kusalahkan ibu. Ya, ibuku. Ia telah salah besar, begitu batinku. Kenapa ia ceritakan Mudakir, yang tak kuingat sama sekali. Kujadikan ibu sebagai orang tersangka. Kutuduh ia. Gara- gara cerita ibu, aku menjadi memaksa otakku untuk memunculkan Mudakir. Ah, ibu, kenapa kau ceritakan itu. Andai kau menceritakan itu, tak perlu kupaksa otakku untuk berpikir keras, menginjak-nginjak memori , memuntahkan cerita seperti yang diceritakan ibuku, tentang menulis, itu. Ah, aku pula bingung, apakah ibu harus kusalahkan?. Ibu pula tak tau bagaiana perasaanku. Dapat kubayangkan pula, jika ibu tak menceritakan hal tersebut, aku tak tau jika ada orang penting bernama Mudakir dala hidupku. Walau ibu kusalahkan, namun tak sampai kuumpat Ibu. Entah kenapa, aku masih takut untuk mengumpat ibu, cukup kusalahkan saja beliau.
Kuambil bungkus rokok itu, kubuang jauh-jauh. Biarlah, walau masih ada isinya dan sebuah korek, kakakku pun tak tau.
Hatiku masih bergejolak, memaksa, menindas, mengintimidasi ingatanku, agar aku dapat bayangan Mudakir. Ah, sudahlah, aku merasa capek dengan semua itu. Tak jadi kusalahkan ibuku, ia tak salah. Aku yang salah, karena menyalahkannya. Ibuku tak tau pula bagaimana isi otak dan hatiku, tak tau jika aku tak ingat peristiwa yang beliau ceritakan. Apalagi si Mudakir itu. Otakku pun tak salah, jika tak mampu mengangkat kisah itu. Biarlah dulu, mungkin suatu saat aku dapat memunculkan sendiri.
Kupacu motor itu, meninggalkan gedung sekolah. Keponakanku tak tau juga, sesuatu dalam benakku. Biarlah, mungkin suatu saat, akan kusalahkan siapa lagi.
Oleh : Ahmad Ulul Arham
Mahasiswa Fakultas Sastra, Universitas Jember
Komentar
Posting Komentar